Wednesday, April 30, 2008

Kedai jamu Bu Heni


Nongkrong di tempat orang jual jamu cicip sini cicip sana, perut ampe mules kena jamu mulu. Dari yang tidak mengenal jamu sama sekali jadi tau fungsi, rasa, ampe harganya jamu. (pahit.... man rasanya)

Berhari-hari nongkrong tempat orang jual jamu, mengharapkan insight yang terlontar dari para pedagang dan pembeli.

Akhirnya saya melihat pemandangan, serta ucapan diluar dugaan yang selama ini hanya saya denger sebatas brief dan obrolan pekerja kantor lainnya. Menurut klien saya, produknya merupakan kelas premium dengan harga tiiitttt (sensor) dan TA / TM-nya orang-orang kelas B+ - C. Tapi kenyataan di lapangan berbeda sekali dengan yang diutarakan klien, (tapi selalu seperti itukan) pembeli potensial justru berasal dari kalangan CD (terutama wanita). Di situasi seperti sekarang yang semua-semua mahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kelabakan. Tapi mereka mampu merogoh kocek sebesar Rp 50.000 – Rp 100.000 untuk membeli produk jamu, (beberapa produk) yang masa konsumsinya satu bulan. (jamu khusus wanita) Harga yang sangat tinggi untuk dibayarkan mengingat dia (wanita) di kalangan CD.

Sewaktu saya tanya,

Keparat : ”beli jamunya rutin bu?”

Ibu : ”iya, biasanya saya beli sebulan sekali.” (dengan lantangnya menjawab)

Keparat : ”ga mahal tuh bu beli jamu harga segitu?”

Ibu : ”Namanya juga kebutuhan mas.”
”wanita kan biayanya mahal.”

Si Ibu dengan umur sekitar 35 thn dengan pekerjaan berjualan gorengan di pasar, dan suami yang bekerja sebagai sopir truk. Sangat loyal dalam mengkonsumsi jamu dengan harga yang relatif mahal. Hmmm... insight yang menarik.

”Dia mengkonsumsi merek produk yang sama ?”
Tidak juga dia mengkonsumsi jamu dengan merek yang berbeda, tergantung anjuran tukang jamu. (disini tukang jual jamu udah kaya dokter dengan peralatannya)

Di satu sisi saya melihat kenyataan yang cukup mencengangkanm, dari 7 orang yang datang (cewek-cowok) hanya 2 orang yang langsung menyebutkan merek itupun dengan merek jamu yang cukup dominan. Sisanya tergantung anjuran ”dokter”nya. Kebanyakan mereka datang dan mengatakan keluhan yang mereka alami, selanjutnya serahkan pada ”dokter”nya. (survei ngaasal ngga kaya AC nielsen lho...)

Budget milyaran rupiah yang digelontorkan guna membangun image positif merek terhadap masyarakat, tidak berguna di level Find&Buy. Pada saat itulah peranan ”dokter” berpengaruh dalam membangun image serta penjualan produk.

Bagaimana kita dapat menyampaikan message produk? bila kita tidak dapat menjaga hubungan baik dengan Agen, Penjual (jamu gendong, jamu dorong, warung jamu) dan pembeli.

Terkadang kita lupa tidak semuanya permasalahan yang dialami sebuah merek, harus di selesaikan dengan bikin TVC, Billboard, dan sebagainya. Banyak cara yang lebih-lebih tradisional (bukan media tradisional lho) dalam ”menyapa” market lebih ramah.

No comments: