Thursday, June 26, 2008

Membagun image perusahaan melalui customer service

Di jaman sekarang ini dimana hampir semua perusahaan mengatakan servis adalah hal yang utama dalam menjalankan bisnisnya. Konsumen ditempatakan di posisi tertinggi, dengan mengatakan konsumen adalah raja jadi harus kita layani dengan hati, dengan senyuman dan sebagainya dah. Pokoknya servis merupakan senjata utama dalam menaklukan konsumen setelah promosi, kata petinggi-petinggi di perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Dipasang juga tuh gede-gede poster empowerment di dalam ruangan kantor, yang menjabarkan bagaimana kita menservis konsumen dengan baik. Tidak hanya poster para pegawai pun dilengkapi dengan aksesoris pin yang disematkan di seragam kantor mereka, dengan contoh tulisan ”anda akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dari kami.”
Tiap pagi hari sebelum bekerja mereka dibekali dengan berbagai macam omongan, mulai dari apa itu devinisi servis dan beberapa cerita-cerita orang sukses yang dikarenakan pekerjaannya bagus.

Wah berarti memang servis sudah menjadi salah satu strategi penting perusahaan dalam mempertahankan imagenya sebagai perusahaan yang...........

Beberapa seminar marketing pun mengatakan sekarang era-nya customer centric. Bahwa sekarang semua berpusat di konsumen, bagaimana bisa lebih memahami konsumen bukan hanya terbatas pada produk bagus dan konsumen puas. Beberapa praktisi marketing terkenal pun mulai mengatakan sekarang eranya Human centric, saya kurang paham apa itu maksudnya human centric tapi tingkatannya lebih tinggi dari customer centric. Bahwa mereka (konsumen) ingin dimengerti dan dipahami secara individu atau personal.

Walaupun servis merupakan salah satu strategi dalam membangun image, tapi kenapa ya? Beberapa kali saya bertemu orang (konsumen), banyak komplain dilontarkan terhadap orang-orang di jajaran depan perusahaan (customer service) dikarenakan servis yang kurang memuaskan. Beberapa keluh kesah konsumen terhadap ketidakpuasan mereka terhadap sebuah perusahaan pun dilontarkan di rubrik media cetak.

Timbul pertanyaan besar di kepala saya,

”Aneh ya, tidak tahu product knowledge kok bisa jadi CS?”

”Perusahaan besar kok tidak profesional dalam menjalankan bisnisnya ya?”

”Sebuah perusahaan besar di indonesia tidak bisa men-training karyawannya dengan baik?”


Dalam kasus ini perusahaan tidak bisa disalahkan seratus persen, karena perilaku beberapa karyawannya dijajaran depan. Mungkin perusahaan pun telah membuang uang puluhan juta bahkan ratusan juta, guna men-training dan menciptakan tenaga kerja profesional yang memahami budaya perusahaan.
Tapi siapa yang tahu kondisi emosi tiap-tiap karyawan, bagaimana mereka (karyawan) bisa mempertahankan emosinya jika berhadapan dengan konsumen.

Jadi yang harus diperhatikan adalah, bukan bagaimana men-training karyawan tentang servis yang baik. Bukan rangkaian training yang membosankan dan menjadikan karyawan tertekan. Jika kita melakukan hal tersebut (training) yang kita ciptakan hanya robot-robot pekerja, dan bekerja justru tanpa menggunakan ”hati”. Lah kok bisa?
Jelas, karena yang mereka lakukan hanya service template. Mereka melayani konsumen hanya berdasarkan apa yang mereka dapat waktu training, sehingga tercipta sebuah pola "yang baik" dalam men-servis konsumen.

Yang perlu kita lakukan dan perhatikan adalah, bagaimana kita bisa memberikan pandangan terhadap karyawan tentang servis dengan pendekatan secara emosional.
Yaitu bagaimana menjadi dirimu sendiri dalam melayani orang lain seperti kamu melayani orang yang kamu cintai.

No comments: