Dulu sewaktu saya masih di Agency sering kali disaat meeting dengan klien, saya menganjurkan untuk mengintegrasikan antara kegiatan marketing dengan kegiatan sales. Dimana divisi sales dan marketing harus lebur menjadi satu untuk membicarakan program marketing dan program sales, atau paling tidak brainstrom dalam satu meja dan menghormati kepentingan masing-masing divisi. Dikarenakan yang selalu terjadi di lapangan bahwa divisi marketing mempunyai kepentingan tersendiri dan sales pun memiliki kepentingan sendiri. Dimana kepentingan tersebut yang memicu adanya komunikasi yang tidak terintegrasi pada brand, dan berpengaruh pada karakteristik brand tersebut di mata masyarakat. Seperti contohnya, divisi marketing create thematic campaign yang elegan, priceless dan bla.. .bla... sesuai dengan positioning brand yang akan ditanamkan di benak konsumen. Tiba-tiba divisi sales di lapangan membuat program "buy 1 get 1" dimana divisi sales pun memiliki target yang harus dipenuhi. Bagaimana kira-kira persepsi masyarakat terhadap brand tersebut? di above the line dia berbicara kemewahan di sales promotion dia bikin buy 1 get 1. Kalau istilah saya pada saat itu, yang saya sampaikan pada klien yaitu "komunikasinya belang-belang."
Tapi anjuran saya sebagai agency pada saat itu, apakah benar-benar sustainable solution bagi perusahaan itu? apakah benar-benar fit bagi divisi marketing dan divisi sales. Ntar yang ada mereka berantem sendiri, "lo enak ya bikin iklan melulu, kita ini yang jualan setengah mampus menuhin target." Disaat sekarang, saya berada disalah satu group besar yang bergerak di bidang otomotif sebagai corporate brand analyst. Saya merasa anjuran yang dulu pernah saya lempar pada klien kok kayanya tolol banget ya. Pada kenyataannya hal tersebut bukan suatu hal yang mudah dipecahkan, tiap divisi memiliki target dan kepentingan yang berbeda. Walaupun di tahun 2007 atau bahkan sebelum itu Hermawan Kertajaya dari Markplus mengatakan hal yang sama, dimana divisi marketing dan sales harus berbicara satu meja dan menghormati kepentingan masing-masing divisi.
Didalam corporate ini saya masih banyak melihat, gaya komunikasi yang tidak terintegrasi. Promo material yang tidak sewarna, sejalan, satu bahasa dengan divisi marketing. Disini semuanya sibuk memenuhi target dari masing-masing divisi, sehingga kurang peduli terhadap brand yang dibangun diluaran. Walaupun masyarakat tidak menyadarinya, tapi klo saya boleh bicara ini seperti panggung festival megah didepan dibelakangnya berantakan. Promo material yang dibuat secara terburu-buru oleh inhouse designer, tanpa menoleh kembali pada buku standar manual logo. Yang penting warnannya gini gitu ada logo perusahaan, yap beres jadi ni poster promo untuk dilempar pada distibutor.
Tapi anjuran saya sebagai agency pada saat itu, apakah benar-benar sustainable solution bagi perusahaan itu? apakah benar-benar fit bagi divisi marketing dan divisi sales. Ntar yang ada mereka berantem sendiri, "lo enak ya bikin iklan melulu, kita ini yang jualan setengah mampus menuhin target." Disaat sekarang, saya berada disalah satu group besar yang bergerak di bidang otomotif sebagai corporate brand analyst. Saya merasa anjuran yang dulu pernah saya lempar pada klien kok kayanya tolol banget ya. Pada kenyataannya hal tersebut bukan suatu hal yang mudah dipecahkan, tiap divisi memiliki target dan kepentingan yang berbeda. Walaupun di tahun 2007 atau bahkan sebelum itu Hermawan Kertajaya dari Markplus mengatakan hal yang sama, dimana divisi marketing dan sales harus berbicara satu meja dan menghormati kepentingan masing-masing divisi.
Didalam corporate ini saya masih banyak melihat, gaya komunikasi yang tidak terintegrasi. Promo material yang tidak sewarna, sejalan, satu bahasa dengan divisi marketing. Disini semuanya sibuk memenuhi target dari masing-masing divisi, sehingga kurang peduli terhadap brand yang dibangun diluaran. Walaupun masyarakat tidak menyadarinya, tapi klo saya boleh bicara ini seperti panggung festival megah didepan dibelakangnya berantakan. Promo material yang dibuat secara terburu-buru oleh inhouse designer, tanpa menoleh kembali pada buku standar manual logo. Yang penting warnannya gini gitu ada logo perusahaan, yap beres jadi ni poster promo untuk dilempar pada distibutor.
2 minggu ini saya bekerja disana, di minggu awal saya mengatakan mengenai brand yang belang-belang di rapat internal dengan gaya bahasa agency. Ternyata obrolan saya kurang direspon cukup baik khususnya pada divisi sales, yang ada malah mereka melihat saya dengan gaya permusuhan.
Beberapa kali saya bicara mengenai iklan dan branding, yang ada dikepala mereka, "Saya buang duit segini emang impactnya bisa langsung dirasakan, apa langsung berpengaruh pada volume penjualan saya." Dan di meeting itu saya pun bersikukuh bahwa marketing campaign tidak berkorelasi positif terhadap penjualan, yang saya bangun adalah positioning brand karakteristik brand dimana diharapkan mereka akan menggunakan produk kita klo image itu terbangun secara positif di mata konsumen.
Didalam sini saya melihat lebih obyektif dalam segala hal, mempelajari bagaimana proses produksi itu berjalan. Bagaimana sebuah produk di develop dan diletakkan di market yang sesuai, dengan karakteristik produk tersebut. Mempelajari segala aspek yang terlibat pada berjalannya sebuah roda bisnis, melihat keterlibatan semua divisi dalam mendukung jalannya industri dan bisnis.
Mungkin kita benar-benar mengerti mengenai advertising, branding dan ilmu komunikasi. Tapi apakah kita benar-benar memahami industri itu berjalannya bagaimana, dan internal proses yang seperti apa terjadi di dalamnya. Arogansi kita sebagai orang agensi yang selalu berpendapat bahwa kita tau semuanya, ternyata tidak semuanya kita tahu. Tempatkan klien diposisi sebagai partner bukan sebagai orang bodoh yang tidak menahu tentang advertising dan sebagainya, mereka lebih memahami apa yang mereka mau dan harapkan dari servis sebuah agensi.
Beberapa kali saya bicara mengenai iklan dan branding, yang ada dikepala mereka, "Saya buang duit segini emang impactnya bisa langsung dirasakan, apa langsung berpengaruh pada volume penjualan saya." Dan di meeting itu saya pun bersikukuh bahwa marketing campaign tidak berkorelasi positif terhadap penjualan, yang saya bangun adalah positioning brand karakteristik brand dimana diharapkan mereka akan menggunakan produk kita klo image itu terbangun secara positif di mata konsumen.
Didalam sini saya melihat lebih obyektif dalam segala hal, mempelajari bagaimana proses produksi itu berjalan. Bagaimana sebuah produk di develop dan diletakkan di market yang sesuai, dengan karakteristik produk tersebut. Mempelajari segala aspek yang terlibat pada berjalannya sebuah roda bisnis, melihat keterlibatan semua divisi dalam mendukung jalannya industri dan bisnis.
Mungkin kita benar-benar mengerti mengenai advertising, branding dan ilmu komunikasi. Tapi apakah kita benar-benar memahami industri itu berjalannya bagaimana, dan internal proses yang seperti apa terjadi di dalamnya. Arogansi kita sebagai orang agensi yang selalu berpendapat bahwa kita tau semuanya, ternyata tidak semuanya kita tahu. Tempatkan klien diposisi sebagai partner bukan sebagai orang bodoh yang tidak menahu tentang advertising dan sebagainya, mereka lebih memahami apa yang mereka mau dan harapkan dari servis sebuah agensi.
No comments:
Post a Comment